Langsung ke konten utama

persoalan-persoalan di perbatasan di negara lain

Memahami Indonesia yang ‘Asing’: Realitas Sosial-Budaya di Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia

Perbatasan negara kerap dibayangkan sebagai kumpulan-kumpulan garis-garis imajiner di atas peta yang dianggap sakral, baku dan memiliki kekuatan legal-formal untuk memisahkan kedaulatan teritorial, politis, ekonomi dan hukum yang membedakan negara satu dari yang lainnya. Secara budaya, garis perbatasan dianggap pembeda identitas nasional masyarakat negara yang satu dari yang lainnya. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki perbatasan internasional terbanyak di Asia Tenggara

Sebagian besar wilayah-wilayah perbatasan ini berada dalam posisi periferal yang jauh dari pusat negara, di mana realita realita perbatasan masih terasa asing dan sulit dibayangkan oleh publik awam. Studi-studi sosial di wilayah perbatasan Indonesia baru dimulai sejak akhir 1990-an. Selain tergolong baru, tulisan-tulisan umum maupun akademik oleh para peneliti lokal sering terbentur oleh birokrasi maupun keterbatasan unit analisis (‘negara’) sehingga pemahaman tentang wilayah perbatasan hanya diperoleh secara parsial dari sisi teritorial Indonesia sehingga seringkali gagal dalam memahami wilayah perbatasan sebagai bagian integral, secara sosial maupun historis, dari wilayah negara tetangga.

Proses terbentuknya negara-bangsa (nation-state) di Asia Tenggara adalah konsekuensi dari pembagian teritori wilayah di masa kolonial. Para penguasa kolonial membagi Asia Tenggara antara abad 19-20 berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka. Ini semua diratifikasi jauh di London atau pun Den Haag, tanpa sepengetahuan para subyek-subyek jajahan mereka. Dengan kata lain, pertimbangan kultural, agama, linguistik, pola mobilitas maupun formasi-formasi hubungan sosial maupun jaringan perdagangan tradisional tidak pernah menjadi dasar bagi penentuan batas negara. Batas-batas negara Asia Tenggara dewasa ini tidak pernah dapat berpotongan dengan batas-batas kultural secara persis.

Karena wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia dari sudut kepentingan negara sering dilihat sebagai titik persinggungan antara kepentingan kedaulatan nasional dan negara tetangga, ia sering dianggap sebagai sebuah wilayah yang ‘rawan’, sebuah frontier yang harus dijaga dari ancaman luar – sebuah peninggalan historis dari masa Konfrontasi (1963-66). Mobilitas lintas-negara yang kerap dilakukan komunitas-komunitas di perbatasan sering ditafsirkan sebagai gejala yang menyimpang, sebagai tanda ‘lunturnya rasa nasionalisme’. (cf. Bappenas 2004)

Publik dan media massa pun cenderung memperhatikan wilayah perbatasan dari persoalan illegal logging, human trafficking maupun ‘penyerobotan wilayah’ – dan ini sering melahirkan persepsi bahwa wilayah perbatasan adalah rawan dan rentan terhadap konflik dan pelanggaran hukum tanpa memperhatikan persoalan-persoalan penting yang lain. Sebagai akibatnya, wilayah perbatasan selalu didefinisikan dan dipahami secara hitam putih dengan cap negatif. Ini hanya merupakan satu sisi dari realita perbatasan yang jauh lebih kompleks dan berwarna.

Narasi negara ini sering mengaburkan fakta bahwa Indonesia sesungguhnya terbentuk secara historis oleh keanekaragaman kultural dalam bentuk pertemuan berbagai proses sosial, identitas etnis, ekonomi, politik maupun pengalaman kolonialisasi yang telah terjadi dalam ruang wilayah yang jauh lebih luas dari batas wilayah negara Republik Indonesia yang kita kenal sekarang ini.

Komunitas-komunitas di perbatasan memiliki pemahaman dan konsepsi teritorial yang berbeda maupun sikap pragmatis-rasional, yang sering dianggap tidak kompatibel dengan konsepsi teritorial maupun kewarganegaraan yang dianut oleh negara.

Adapun tujuan dari rangkuman kuliah ini adalah untuk mencari berbagai alternatif pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial, humaniora, maupun governance dalam mengkaji dan memahami wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia. Pedekatan pendekatan baru diharapkan bisa memperkaya rekomendasi bagi para pembuat kebijakan yang tepat untuk wilayah wilayah perbatasan.

sumber : http://fkai.org/2009/03/04/memahami-indonesia-yang-%E2%80%98asing%E2%80%99-realitas-sosial-budaya-di-wilayah-perbatasan-indonesia-malaysia/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

USAHA KERAJINAN KAOS KAKI

Saat liburan menjelang lebaran, setiap orang sibuk dengan segala hal mengenai perlengkapan lebaran hingga perlengkapan menjelang masuk sekolah. Salah satu hal yang dibutuhkan saat memasuki tahun ajaran baru adalah kaos kaki dan itu mudah ditemui di daerah sekitar rumah saya tepatnya di daerah Ciawi, kota Bogor. Disana terdapat dua usaha kerajinan kaos kaki yang memproduksi sebagian besar kebutuhan kaos kaki di kota saya. Salah satu dari usaha kaos kaki tersebut adalah usaha milik Pak Nana dan Pak Azan. Saat liburan dan setelah lebaran, saya sempat mengantar beberapa saudara saya untuk membeli kaos kaki di tempat usaha tersebut. Yang pertama adalah mengantar saudara saya ke tempat usaha kerajinan kaos kaki milik Pak Azan. Sambil bersilahturahmi dengan keluarga Pak Azan, kami sempat berbincang dengan istri pak Azan mengenai usaha kaos kaki yang di jalani oleh Pak Azan selama ini. Pak Azan sudah mendirikan usahanya sekitar 8 tahun. Dimulai dengan bekerja ditempat industri kaos kaki lain d...

The Relative Pronoun

A clause is a group of words containing a subject and a verb. An independent clause is a complete sentence. It contains the main subject and verb of a sentences. It is also called a main clause. A dependent clause is not a complete sentence. It must be connected to an independent clause. An adjective clause is a dependent clause that modifies a noun. It describes, identifies, or gives further information about a noun. An adjective clause is also called a relative clause. A.     Using Subject Pronouns : WHO, WHICH, THAT Example : - I thanked the woman. -           She helped me. (a)     I thanked the woman who helped me. (b)    I thanked the woman that helped me. Example : - The book is mine. -           It is on the table. (c)     The book which is on the table is mine. (d)  ...

New Exercise part 2

Exercise 38 page 139 1.       George is the man chosen to represent the committee at the convention. 2.       All of the money accepted has already been realesed. 3.       The papers on the table belong to Patricia. 4.       The man brought to the police station confessed to the crime. 5.       The girl drinking coffee is Mary Allen. 6.       John’s wife, a professor, has written several papers on this subject. 7.       The man talking to the policeman is my uncle. 8.       The book on the top shelf is the one that I need. 9.       The number of students been counted is quite high. 10.   Leo Evans, a doctor, eats in this restaurant every day.