Dewasa ini ada keprihatinan dari banyak pihak di Indonesia akan berkembangnya fenomena cara-cara bisnis yang tidak etis. Bahkan ada anggapan bahwa praktik bisnis yang tidak etis itu merupakan sesuatu yang sah jika ingin meraih profit atau keuntungan yang sebesar-besarnya sesuai prinsip ekonomi. Kenyataan membuktikan bahwa lingkup kegiatan bisnis tidak hanya menyangkut lingkup ekonomi murni, melainkan menyentuh juga aspek-aspek manusiawi dan etika.
Rusaknya citra bisnis diakibatkan adanya pandangan yang salah yaitu pandangan praktis dan bukan pandangan ideal. Pandangan praktis melihat bisnis sebagai suatu kegiatan profit making semata, bahkan laba dianggap sebagai satusatunya tujuan pokok bisnis. Lain halnya dengan pandangan ideal, yaitu melakukan kegiatan bisnis karena dilatarbelakangi oleh idealisme yang luhur.
Menurut pandangan ini bisnis adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dasar pemikiran mereka adalah pertukaran timbal balik secara fair, di antara pihak-pihak yang teribat. Maka yang ingin ditegakkan adalah keadilan kumulatif dan keadilan tukar-menukar yang sebanding. Pandangan bisnis ideal, bisnis yang baik selalu memiliki misi tertentu yang luhur dan tidak sekedar mencari keuntungan.
Seperti pada salah satu maskapai penerbangan. Jam 7 pagi ini– Sabtu 2 Mei 2009– salah seorang penumpang dan beberapa kerabatnya, sudah duduk manis di dalam pesawat menuju Singapura. Setengah jam kemudian, pesawat pun take-off.
Tak seperti biasanya, ketika sudah terbang, pesawat seperti tak naik-naik. Lima belas menit pesawat mengangkasa, tiba-tiba terdengar dua kali suara seperti ledakan. Lalu sesekali badan pesawat agak oleng ke kanan. Pilot nampaknya berusaha keras menstabilkan posisi pesawat, ketika ada sebuah pemberitahuan kepada para penumpang melalui pengeras suara bahwa mesin pesawat sebelah kanan mati, namun situasi dapat segera dikendalikan dan harap untuk tetap tenang karena para petugas penerbangan telah terlatih menghadapi situasi seperti ini dan saat ini sudah mendapat izin untuk kembali ke Soekarno Hatta.
Kecemasan makin menjalar. Baru belakangan diketahui, penumpang yang duduk sejajar sayap kanan melihat bagian bawah sayap memercikkan bola api di dua titik. Pesawat pun tersendat-sendat –seperti mobil tak bisa distarter– lantas agak miring lagi ke kanan. Laju pesawat makin tak stabil. Kengerian makin merambat ketika dari arah kanan belakang terdengar bunyi keras berulang-ulang—seperti bunyi pintu yang terbanting-banting. Spontan seluruh penumpang dalam pesawat pun dicekam ketakutan luar biasa.
Sampai pada akhirnya pesawat berhasil mendarat di Soekarno-Hatta. Pihak maskapai penerbangan menawarkan penumpang menunggu –sampai pesawat selesai diperbaiki atau dialihkan ke pesawat mereka lainnya—atau menarik kembali uang tiket. Hampir seluruh penumpang memilih refund. Banyak yang beralih ke maskapai lain karena masih bergidik mengingat kejadian tadi, dan beberapa penumpang sepakat menunda terbang hari ini. Butuh waktu menenangkan diri sampai kami siap mengudara lagi. Tidak dengan maskapai yang sama lagi, tentunya.
Lalu solusi yang dapat diambil dalam masalah ini adalah hendaknya tiap perusahaan membudayakan etika bisnis agar orientasi strategik yang dipilih semakin baik. Salah satu persyaratan bagi penerapan orientasi strategik yang inovatif, proaktif, dan berani dalam mengambil risiko adalah budaya perusahaan yang mendukung. Karena bisnis adalah bagian penting dalam masyarakat, selain mempertaruhkan barang dan uang untuk tujuan keuntungan, bisnis juga membutuhkan etika yang setidaknya mampu memberikan pedoman bagi pihak-pihak yang melakukannya. Sehingga masyarakat pun akan merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan dan akan terus menggunakan jasa tersebut.
Komentar
Posting Komentar